“Ladies in Black” Kehidupan 3 Karyawati yang Menyentuh

“Ladies in Black” Kehidupan 3 Karyawati yang Menyentuh

“Ladies in Black” Kehidupan 3 Karyawati yang Menyentuh – Berlatarkan musim panas tahun 1959 di kota Sydney, Australia, Ladies in Black memfokuskan kisahnya pada tokoh Lisa (Angourie Rice) yang sedang menunggu hasil ujian akhir SMA-nya.

Dengan bermimpi untuk bisa diterima di Sydney University, liburan musim panasnya kemudian diisi dengan bekerja di sebuah departemen store terbesar di kota Sydney, Goode’s Department Store.

Di sampingitu pun bertemu dengan atasannya yang galak namun baik hati, Miss Cartwright (Noni Hazlehurst) juga pemilik butik kecil yang seorang imigran asal Eropa, Magda (Julia Ormond), Lisa juga dipertemukan dengan dua orang pegawai wanita lainnya yang memiliki masalah hidup cukup kompleks. Permasalahan dalam hidup yang mungkin belum Lisa pahami di usianya namun juga membuka pengetahuan lebih lagi sebagai wanita dewasa. http://www.shortqtsyndrome.org/

“Ladies in Black” Kehidupan 3 Karyawati yang Menyentuh

Fay (Rachael Taylor) merupakan seorang wanita lajang berusia diatas kepala 3 yang sedang mengalami problem dalam pencarian pasangan, sementara Patty (Alison McGirr) adalah seorang wanita yang mengalami problem keturunan meskipun sudah menikah lama. Dua wanita tersebut pun menjadi rekan sekaligus mentor bagi Lisa di Goode’s. www.americannamedaycalendar.com

Dengan kedua orang inilah, kelak Lisa mendapatkan banyak pelajaran hidup. Tak hanya bagaimana menjadi orang dewasa, namun juga bagaimana mengajarkannya untuk berani melawan struktur sosial dan menjalani kebebasan berpendapat meskipun dia seorang wanita. Suatu kontrakultur yang lahir dari tiga orang wanita yang mewakili budaya patriarki masyarakat Australia di masa lalu.

Sebuah Film yang Membawa Mood Bahagia

Ladies in Black yang diangkat dari novel best seller karya Madeleine St.John, The Woman in Black(1993), sejatinya menawarkan sebuah cerita yang ringan, mudah dipahami dan cukup membangun mood bahagia di sepanjang film. Meskipun terdapat konflik pribadi dari ketiga tokoh utama film ini, namun hal tersebut nyatanya tak mengganggu tone film yang cukup riang gembira.

Permasalahan yang terjadi memang tak semuanya dijabarkan dengan detail. Konflik yang dimiliki Lisa terkait keinginan kuatnya untuk kuliah sekaligus meyakinkan ayahnya yang kolot, praktis menjadi satu-satunya konflik dari ketiga tokoh utama yang paling memiliki penceritaan detail.

Sementara konflik yang dimiliki Fay terkait masa lajangnya di usia 30-an serta Patty yang memiliki hubungan kurang baik dengan suaminya yang pendiam, nampak tampil begitu saja dan kurang kuat. Padahal, konflik yang dimiliki Fay dan Patty berpotensi jauh lebih baik jika diberikan porsi lebih.

Hanya saja, nampaknya sang sutradara, Bruce Beresford, ingin tetap menjaga mood ceria dan bahagia di sepanjang film. Sehingga konflik-konflik yang berpotensi menghadirkan tangis bagi penonton, tidak terlalu diberi detail yang cukup.

Bukan bermaksud spoiler, namun dengan ending film yang bahagia, jelas semakin menegaskan bahwa film ini memang ingin menghadirkan kebahagiaan bagi siapapun yang menontonnya.

Film ini juga seakan ingin menunjukkan bahwa sepelik apapun permasalahan hidup, tetap memiliki sisi cerianya. Dan yang terpenting, di akhir sebuah permasalahan selalu menghadirkan kebahagiaan yang luar biasa.

Oh iya, mungkin entah disengaja atau tidak, namun kisah 3 gadis berseragam hitam di Goode’s Department Store seakan memiliki analogi tersendiri. Ya, dengan seragam hitam seakan memiliki analogi konflik dari dalam diri mereka masing-masing.

Sementara Goode’s Department Store seakan merupakan gambaran kehidupan yang begitu besar dengan ragam konflik di dalamnya, namun jika dilihat dengan sudut pandang yang lebih luas, kehidupan selalu mendatangkan kebaikan dan keceriaannya.

Penuh Pesan Emansipasi Wanita

Mendengar nama sutradara Bruce Beresford, mungkin tak semuanya langsung bisa mengenalnya. Selain karena namanya tak setenar sutradara beken Hollywood lainnya, film-filmnya pun jarang ada yang menyandang predikat blockbuster. Padahal beliau sudah memproduksi banyak film sejak era 80-an.

“Ladies in Black” Kehidupan 3 Karyawati yang Menyentuh

Salah satu film terkenal garapan Bruce Beresford tentu saja film Driving Miss Daisy (1989). Film yang bisa dibilang merupakan kebalikan dari kisah pada film Green Book(2018) tersebut mendapatkan banyak pernghargaan internasional termasuk Best Picture di ajang Oscar tahun 1990. Film yang mengangkat isu rasial dalam bentuk road movie tersebut, menjadi film yang begitu menyentuh dan berhasil menggugah rasa kemanusiaan.

Lalu kali ini lewat Ladies in Black, Bruce Beresford ingin mengangkat isu kemanusiaan kembali dengan fokus utamanya pada tema emansipasi wanita. Ladies in Black yang jelasnya mempunyai pesan bahwa wanita tak selamanya harus terjebak dalam sebuah kultur yang merugikan dirinya. Wanita harus berani berbicara, memiliki ketegasan bahkan boleh bermimpi serta menentukan sendiri akan seperti apa jalan hidupnya di masa depan.

Kisah tiga wanita dalam Ladies in Black mewakili isu budaya patriarki yang menghalangi wanita di masa silam bahkan di masa kini yang kerap terjadi di beberapa wilayah di seluruh dunia.

Dan ketiga wanita tersebut jugalah yang mewakili perempuan-perempuan pemberani yang tegas menghadapi kultur yang berlaku, hingga mampu menjadi agen perubahan bagi wanita-wanita di sekeliling mereka.

Seperti contoh, tokoh Lisa mewakili suara kaum perempuan yang kerap hanya bisa dianggap sebagai pengurus rumah tangga dan tak perlu memiliki jenjang pendidikan yang tinggi.

Fay mewakili kaum perempuan yang kerap dipandang rendah laki-laki hanya karena memiliki masa lalu yang kelam, padahal dirinya sudah berubah dan mencoba untuk melupakan kehidupan kelamnya di masa lalu.

Sementara Patty mewakili kaum perempuan yang nampak terjebak dengan doktrin bahwa istri tidak boleh “mendahului” suami dalam hal pembicaraan masalah ranjang dan kehamilan, sehingga diam adalah pilihan yang tepat. Padahal, komunikasi jelas menjadi faktor utama dalam hubungan sebuah keluarga.

Dengan poin-poin itulah film ini semakin menegaskan posisinya sebagai film yang mengangkat tema girl power. Sebuah tema yang nampak relevan, entah sebagai pembelajaran akan kondisi di masa lalu ataupun sebagai pengingat akan kontribusi wanita di era modern ini.

Kaya akan Kebudayaan Australia

Suguhan CGI kota Sydney era 50-an yang ramai serta gambaran department store klasik yang sedang berada dalam periode sibuknya, juga ditampilkan dengan baik pada film ini.

Suasana dan aktifitas di pusat perbelanjaan yang seru namun juga sedikit menyebalkan akibat beragamnya sikap konsumen, mampu ditranslasikan ke dalam visual yang penuh warna, hangat dan ceria. Sehingga kita seakan turut dibawa ke dalam suasana ceria sekaligus diperkenalkan pada budaya berbelanja masyarakat Sydney di musim liburan.

Selain visualisasi kota Sydney klasik yang ciamik, film ini sejatinya menawarkan detail kebudayaan lain yang tak kalah mengagumkan. Kostum menjadi poin pertama.

Dimana detail kostum di film ini digarap dengan begitu maksimal dan mampu memberikan gambaran meyakinkan akan pengaruh mode yang dibawa oleh para imigran asal Eropa, kepada masyarakat kelas menengah atas Australia di masa itu.

Poin kedua adalah begitu kentalnya aksen Australia lengkap dengan bahasa slang seperti penyebutan “refos” bagi kaum refugee atau imigran. Tak hanya itu, Australia yang kerap dikenal sebagai negerinya kaum budak di masa lalu, kerap disindir dalam beberapa jokes sarkas yang cukup mengocok perut.

Tak lupa, suasana natal yang cukup unik di Australia pun berhasil disajikan dengan sangat baik. Seperti kita tahu, natal di Australia berbarengan dengan liburan musim panas negara tersebut. Sehingga jika kita biasanya menyaksikan latar salju pada film-film Hollywood berlatar akhir tahun, dalam film ini kita justru disuguhi serunya suasana natal sekaligus liburan musim panas yang hangat.

Penutup

Ladies in Black jelas menjadi tontonan yang tak hanya menyenangkan dan mudah dipahami, namun juga menampilkan kekayaan budaya Australia serta pesan positif di sepanjang film. Cerita yang hangat dan menyentuh, menjadi sebab kenapa film ini tak boleh dilewatkan begitu saja.

 

Share