“Ladies in Black” Kehidupan 3 Karyawati yang Menyentuh

“Ladies in Black” Kehidupan 3 Karyawati yang Menyentuh – Berlatarkan musim panas tahun 1959 di kota Sydney, Australia, Ladies in Black memfokuskan kisahnya pada tokoh Lisa (Angourie Rice) yang sedang menunggu hasil ujian akhir SMA-nya.

Dengan bermimpi untuk bisa diterima di Sydney University, liburan musim panasnya kemudian diisi dengan bekerja di sebuah departemen store terbesar di kota Sydney, Goode’s Department Store.

Di sampingitu pun bertemu dengan atasannya yang galak namun baik hati, Miss Cartwright (Noni Hazlehurst) juga pemilik butik kecil yang seorang imigran asal Eropa, Magda (Julia Ormond), Lisa juga dipertemukan dengan dua orang pegawai wanita lainnya yang memiliki masalah hidup cukup kompleks. Permasalahan dalam hidup yang mungkin belum Lisa pahami di usianya namun juga membuka pengetahuan lebih lagi sebagai wanita dewasa. http://www.shortqtsyndrome.org/

“Ladies in Black” Kehidupan 3 Karyawati yang Menyentuh

Fay (Rachael Taylor) merupakan seorang wanita lajang berusia diatas kepala 3 yang sedang mengalami problem dalam pencarian pasangan, sementara Patty (Alison McGirr) adalah seorang wanita yang mengalami problem keturunan meskipun sudah menikah lama. Dua wanita tersebut pun menjadi rekan sekaligus mentor bagi Lisa di Goode’s. www.americannamedaycalendar.com

Dengan kedua orang inilah, kelak Lisa mendapatkan banyak pelajaran hidup. Tak hanya bagaimana menjadi orang dewasa, namun juga bagaimana mengajarkannya untuk berani melawan struktur sosial dan menjalani kebebasan berpendapat meskipun dia seorang wanita. Suatu kontrakultur yang lahir dari tiga orang wanita yang mewakili budaya patriarki masyarakat Australia di masa lalu.

Sebuah Film yang Membawa Mood Bahagia

Ladies in Black yang diangkat dari novel best seller karya Madeleine St.John, The Woman in Black(1993), sejatinya menawarkan sebuah cerita yang ringan, mudah dipahami dan cukup membangun mood bahagia di sepanjang film. Meskipun terdapat konflik pribadi dari ketiga tokoh utama film ini, namun hal tersebut nyatanya tak mengganggu tone film yang cukup riang gembira.

Permasalahan yang terjadi memang tak semuanya dijabarkan dengan detail. Konflik yang dimiliki Lisa terkait keinginan kuatnya untuk kuliah sekaligus meyakinkan ayahnya yang kolot, praktis menjadi satu-satunya konflik dari ketiga tokoh utama yang paling memiliki penceritaan detail.

Sementara konflik yang dimiliki Fay terkait masa lajangnya di usia 30-an serta Patty yang memiliki hubungan kurang baik dengan suaminya yang pendiam, nampak tampil begitu saja dan kurang kuat. Padahal, konflik yang dimiliki Fay dan Patty berpotensi jauh lebih baik jika diberikan porsi lebih.

Hanya saja, nampaknya sang sutradara, Bruce Beresford, ingin tetap menjaga mood ceria dan bahagia di sepanjang film. Sehingga konflik-konflik yang berpotensi menghadirkan tangis bagi penonton, tidak terlalu diberi detail yang cukup.

Bukan bermaksud spoiler, namun dengan ending film yang bahagia, jelas semakin menegaskan bahwa film ini memang ingin menghadirkan kebahagiaan bagi siapapun yang menontonnya.

Film ini juga seakan ingin menunjukkan bahwa sepelik apapun permasalahan hidup, tetap memiliki sisi cerianya. Dan yang terpenting, di akhir sebuah permasalahan selalu menghadirkan kebahagiaan yang luar biasa.

Oh iya, mungkin entah disengaja atau tidak, namun kisah 3 gadis berseragam hitam di Goode’s Department Store seakan memiliki analogi tersendiri. Ya, dengan seragam hitam seakan memiliki analogi konflik dari dalam diri mereka masing-masing.

Sementara Goode’s Department Store seakan merupakan gambaran kehidupan yang begitu besar dengan ragam konflik di dalamnya, namun jika dilihat dengan sudut pandang yang lebih luas, kehidupan selalu mendatangkan kebaikan dan keceriaannya.

Penuh Pesan Emansipasi Wanita

Mendengar nama sutradara Bruce Beresford, mungkin tak semuanya langsung bisa mengenalnya. Selain karena namanya tak setenar sutradara beken Hollywood lainnya, film-filmnya pun jarang ada yang menyandang predikat blockbuster. Padahal beliau sudah memproduksi banyak film sejak era 80-an.

“Ladies in Black” Kehidupan 3 Karyawati yang Menyentuh

Salah satu film terkenal garapan Bruce Beresford tentu saja film Driving Miss Daisy (1989). Film yang bisa dibilang merupakan kebalikan dari kisah pada film Green Book(2018) tersebut mendapatkan banyak pernghargaan internasional termasuk Best Picture di ajang Oscar tahun 1990. Film yang mengangkat isu rasial dalam bentuk road movie tersebut, menjadi film yang begitu menyentuh dan berhasil menggugah rasa kemanusiaan.

Lalu kali ini lewat Ladies in Black, Bruce Beresford ingin mengangkat isu kemanusiaan kembali dengan fokus utamanya pada tema emansipasi wanita. Ladies in Black yang jelasnya mempunyai pesan bahwa wanita tak selamanya harus terjebak dalam sebuah kultur yang merugikan dirinya. Wanita harus berani berbicara, memiliki ketegasan bahkan boleh bermimpi serta menentukan sendiri akan seperti apa jalan hidupnya di masa depan.

Kisah tiga wanita dalam Ladies in Black mewakili isu budaya patriarki yang menghalangi wanita di masa silam bahkan di masa kini yang kerap terjadi di beberapa wilayah di seluruh dunia.

Dan ketiga wanita tersebut jugalah yang mewakili perempuan-perempuan pemberani yang tegas menghadapi kultur yang berlaku, hingga mampu menjadi agen perubahan bagi wanita-wanita di sekeliling mereka.

Seperti contoh, tokoh Lisa mewakili suara kaum perempuan yang kerap hanya bisa dianggap sebagai pengurus rumah tangga dan tak perlu memiliki jenjang pendidikan yang tinggi.

Fay mewakili kaum perempuan yang kerap dipandang rendah laki-laki hanya karena memiliki masa lalu yang kelam, padahal dirinya sudah berubah dan mencoba untuk melupakan kehidupan kelamnya di masa lalu.

Sementara Patty mewakili kaum perempuan yang nampak terjebak dengan doktrin bahwa istri tidak boleh “mendahului” suami dalam hal pembicaraan masalah ranjang dan kehamilan, sehingga diam adalah pilihan yang tepat. Padahal, komunikasi jelas menjadi faktor utama dalam hubungan sebuah keluarga.

Dengan poin-poin itulah film ini semakin menegaskan posisinya sebagai film yang mengangkat tema girl power. Sebuah tema yang nampak relevan, entah sebagai pembelajaran akan kondisi di masa lalu ataupun sebagai pengingat akan kontribusi wanita di era modern ini.

Kaya akan Kebudayaan Australia

Suguhan CGI kota Sydney era 50-an yang ramai serta gambaran department store klasik yang sedang berada dalam periode sibuknya, juga ditampilkan dengan baik pada film ini.

Suasana dan aktifitas di pusat perbelanjaan yang seru namun juga sedikit menyebalkan akibat beragamnya sikap konsumen, mampu ditranslasikan ke dalam visual yang penuh warna, hangat dan ceria. Sehingga kita seakan turut dibawa ke dalam suasana ceria sekaligus diperkenalkan pada budaya berbelanja masyarakat Sydney di musim liburan.

Selain visualisasi kota Sydney klasik yang ciamik, film ini sejatinya menawarkan detail kebudayaan lain yang tak kalah mengagumkan. Kostum menjadi poin pertama.

Dimana detail kostum di film ini digarap dengan begitu maksimal dan mampu memberikan gambaran meyakinkan akan pengaruh mode yang dibawa oleh para imigran asal Eropa, kepada masyarakat kelas menengah atas Australia di masa itu.

Poin kedua adalah begitu kentalnya aksen Australia lengkap dengan bahasa slang seperti penyebutan “refos” bagi kaum refugee atau imigran. Tak hanya itu, Australia yang kerap dikenal sebagai negerinya kaum budak di masa lalu, kerap disindir dalam beberapa jokes sarkas yang cukup mengocok perut.

Tak lupa, suasana natal yang cukup unik di Australia pun berhasil disajikan dengan sangat baik. Seperti kita tahu, natal di Australia berbarengan dengan liburan musim panas negara tersebut. Sehingga jika kita biasanya menyaksikan latar salju pada film-film Hollywood berlatar akhir tahun, dalam film ini kita justru disuguhi serunya suasana natal sekaligus liburan musim panas yang hangat.

Penutup

Ladies in Black jelas menjadi tontonan yang tak hanya menyenangkan dan mudah dipahami, namun juga menampilkan kekayaan budaya Australia serta pesan positif di sepanjang film. Cerita yang hangat dan menyentuh, menjadi sebab kenapa film ini tak boleh dilewatkan begitu saja.

 

Continue Reading

Share

“Gurrumul” Film Mengenai Musisi Tunanetra Asli Aborigin

“Gurrumul” Film Mengenai Musisi Tunanetra Asli Aborigin – Film ‘Gurrumul’ yang disutradarai oleh Paul Damien Williams dan dikerjakan selama 4 tahun. Film yang mana mengangkat perjalanan hidup seorang musisi Aborigin bernama Geoffrey Gurrumul Yunupingu.

Diceritakan bahwa Gurrumul pada mulanya hanya seorang personel di band Yothi Yindi dan Saltwater yang sangat populer di kalangan Aborigin, khususnya kaum Yolngu yang tinggal di Timur Laut Australia. Sebagai penyandang tuna netra, Gurrumul punya bakat bermusik yang luar biasa dan bisa memainkan berbagai jenis alat musik, mulai dari gitar, keyboard, bahkan drum. slot indonesia

“Gurrumul” Film Mengenai Musisi Tunanetra Asli Aborigin

Michael Hohnen, yang merupakan pembentuk label rekaman Skinnyfish, tertarik untuk memproduseri Gurrumul. Ia merasa Gurrumul punya bakat luar biasa dan patut mendapat perhatian lebih dari media. 

Bersama Michael, Gurrumul pada akhirnya berhasil merampungkan album self-titled pada 2008. Album itu memenangkan dua kategori di ARIA Music Awards 2008 dan menjadikan Gurrumul sosok yang terkenal di Australia juga beberapa negara di Eropa, seperti Prancis, Inggris, dan Swiss. https://www.americannamedaycalendar.com/

Film dokumenter ‘Gurrumul’ pun memperlihatkan persahabatan antara Gurrumul dan Michael yang lahir dari dua ras berbeda. Gurrumul harus bisa memenuhi ekspektasi Michael sebagai produser, sedangkan Michael pria berkulit putih harus paham betul kondisi budaya suku asli Gurrumul.

Film juga memperlihatkan bagaimana Gurrumul pada akhirnya harus mengemban tugas berat sebagai musisi yang terkenal di industri musik juga tokoh masyarakat Yolngu. Intrik juga kerap kali terjadi karena budaya Yolngu tidak familiar bagi masyarakat barat.

Kesederhanaan yang dimiliki seorang Gurrumul juga tergambar nyataa di film. Ya, ia memang musisi yang unik karena sama sekali tidak peduli pada popularitas dan uang.

Ada beraneka fakta-fakta menarik tentang sosok Gurrumul yang pada akhirnya terungkap. Selama ini, ia memang terkenal pendiam dan jarang berinteraksi dengan awak media.

Pasti banyak orang berpendapat film dokumenter membosankan dan tidak seru. Namun, film ‘Gurrumul’ sangat berbeda karena cara Williams meramu cerita sangat apik dan tidak biasa.

Alur cerita yang Williams buat benar-benar mampu mengocok perasaan setiap penonton yang menyaksikan. Sebab, kehidupan Gurrumul memang penuh kesenangan, namun juga haru dan kisah tragis.

FSAI 2019 masih akan digelar hingga 31 Maret mendatang. Saksikanlah sendiri betapa seru dan menariknya film ‘Gurrumul’.

Cerita menurut Sutradara Soal ‘Gurrumul’ yang Tayang di FSAI 2019 :

Nama dari Geoffrey Gurrumul Yunupingu mungkin terdengar asing di masyarakat Indonesia. Akan tetapi, Gurrumul sangat terkenal sebagai salah satu penyanyi Aborigin paling berbakat.

Album self-titled ‘Gurrumul’ yang rilis pada 2008 berhasil masuk 10 besar di tangga lagu berbagai negara, termasuk Australia, Jerman, dan Swiss. Nyatanya, nyaris semua karyanya menggunakan bahasa Yolngu yang hanya akrab bagi telinga masyarakat Aborigin kawasan Timur Laut Australia.

Pada tahun 2017, sutradara Paul Damien Williams merilis sebuah film dokumenter berjudul ‘Gurrumul’. Film itu sangat populer di Australia dan berhasil memenangkan kategori ‘Best Full-Length Documentary’ di AACTA 2018.

Masyarakat Indonesia akhirnya berkesempatan menyaksikan  ‘Gurrumul’ melalui Festival Sinema Australia Indonesia 2019 (FSAI 2019) yang akan digelar di Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, dan Mataram, hingga 31 Maret mendatang. kumparan kemudian berkesempatan mewawancarai Paul Damien Williams terkait film ‘Gurrumul’ kala FSAI 2019 secara resmi dibuka di CGV, Grand Indonesia, Jakarta Pusat.

Willams mengaku mulanya hanya mengenal sosok Gurrumul karena beberapa kali bertemu di studio rekaman. Keinginan supaya mengangkat Gurrumul dalam sebuah film dokumenter nyatanya justru tercetus secara tidak sengaja.

“Gurrumul” Film Mengenai Musisi Tunanetra Asli Aborigin

“Ketika itu, saya sedang mengendarai mobil dan lagu Gurrumul diputar di radio. Saat mendengar lagu itu, hati saya tersentuh hingga harus menepi sejenak,” ungkap Williams.

“Karya beliau memiliki unsur-unsur spiritual yang nyata dan sangat berbeda dari lagu populer lain yang sering diputar di radio Australia,” sambungnya.

Dengan mengangkat sosok Gurrumul, Williams juga ingin memperkenalkan lebih jauh budaya Aborigin yang merupakan penduduk asli Australia. Pendapat Williams, suku Aborigin semakin termarjinalkan seiring dengan berkembangnya Australia menjadi negara multi-kultur.

“Selama ini pun, film-film Australia lebih banyak menggambarkan suku Aborigin sebagai sumber masalah. Nyatanya, budaya mereka pun perlu untuk rayakan dan bahasa mereka wajib untuk diketahui,” tuturnya.

Williams menceritakan bahwa film ‘Gurrumul’ digarap selama 4 tahun. Proses penggarapan film berlangsung cukup panjang karena Williams merasa punya tanggung jawab untuk bisa secara benar mengangkat budaya Aborigin, khususnya budaya asli Gurrumul, yakni Yolngu.

“Aku membutuhkan melakukan banyak riset dari para pelestari budaya Yolngu. Aku ingin bahasa dan budaya mereka benar-benar tersampaikan dengan baik di film,” kata Williams.

Salah satu dari berbagai langkah Williams supaya mengenal lebih jauh mengenai budaya Yolngu adalah menjadikan Gurrumul sebagai co-producer. Williams pun mengakui bahwa kehadiran Gurrumul membawa perbedaan signifikan dalam film.

“Misalnya, kami diperbolehkan melakukan syuting di prosesi pemakaman ayah dan ibu Gurrumul. Hal tersebut unik karena tak banyak yang tahu kalau pemakaman adat Yolngu digelar secara besar-besaran, selama berhari-hari,” paparnya.

Walau telah menjadi co-producer, Williams membeberkan bahwa Gurrumul sama sekali tidak mau diwawancarai. Akan tetapi, dalam trailer terlihat Gurrumul sempat berbicara sedikit di depan kamera.

“Adegan tersebut kami dapatkan setelah proses syuting selesai. Saat itu, Gurrumul memintaku untuk mengambilkan fish and chips, makanan kesukaannya. Aku bilang, ‘Kau bisa ambil sendiri!’. Kemudian dia berkata lagi, ‘Baik. Aku ingin diwawancara jika kau mau mengambilkannya untukku’. Hal tersebut begitu konyol dan mengejutkan, tentu aku mau,” ujar Williams sembari tertawa.

Ya, film yang berjudul ‘Gurrumul’ akan banyak menceritakan bagaimana keseharian sang maestro di tengah-tengah kaum Yolngu. Selain itu, film ini juga akan mengangkat berbagai intrik kala Gurrumul terus berusaha mempertahankan budaya leluhur meski dirinya adalah seorang penyanyi internasional.

Williams menguraikan berbagai fakta bahwa dalam film, tidak akan ada cerita mengenai komplikasi penyakit yang diderita Gurrumul. Seperti diketahui, Gurrumul meninggal dunia karena komplikasi penyakit hati dan ginjal, juga hepatitis bawaan lahir pada 2017, 18 bulan setelah proses penggarapan film ‘Gurrumul’ selesai.

“Memang pada saat kami meminta izin, Gurrumul mengajukan dua syarat. Pertama, ia tak mau diwawancara. Kedua, ia tak mau membicarakan penyakitnya,” kata Williams.

“Gurrumul pernah berkata, ‘Banyak film boleh menceritakan penyakit akut para penduduk asli Australia, tapi cuma boleh ada satu film tentang Gurrumul’,” sambungnya.

Selama ribuan tahun, Aborigin Australia telah membangun sistem kepercayaan yang sangat kompleks, yang menghubungkan daratan, spiritualitas, adat istiadat, budaya, dan rasa cinta negeri. Pusat dari kepercayaan ini adalah konsep “Dreamtime” atau ”Mimpi”. Tidak satu pun dari kata ini yang memiliki arti sebenarnya atau memiliki nuansa kesan dari sistem kepercayaan Aborigin ini.

Meskipun beberapa kelompok Aborigin secara umum memiliki arti dan kisahnya sendiri mengenai “Dreamtime”, istilah ini dipahami sebagai waktu saat roh para leluhur menciptakan dunia dan seisinya yang ada hingga sekarang. Kelompok Aborigin lain juga memiliki pendapat mereka sendiri, dalam bahasa mereka, yang menggambarkan waktu penciptaan ini dan kisah penciptaan mereka sendiri secara khusus yang terhubung dengan periode waktu ini.

Untuk mempelajari tentang budaya Aborigin, tonton film pemenang penghargaan yang kaya akan rasa kemanusiaan dan sesekali sangat lucu serta menyentuh perasaan.

 

Continue Reading

Share

Film-film Horor Australia yang Bikin Merinding

Film-film Horor Australia yang Bikin Merinding – Film horor telah menjadi salah dari satu berbagai genre film yang seru untuk ditonton. Kamu akan merasakan sensasi mendebarkan dan bahkan takut untuk sendirian. Walau menciptakan perarasaan takut setelah menonton, tentu ada rasa penasaran kalau filmnya belum selesai.

Setiap negara mempunyai kebudayaan tersendiri, tentu film horor yang disajikan akan berbeda. Sama dengan halnya di negara-negara Asia, film horornya bisa dihubungkan dengan wujud makhluk mengerikan dan mitos. Berbeda dengan film horor Amerika, Eropa maupun Australia. slot online

1. The Babadook

Film horor yang rilis pada tahun 2014 dan disutradarai oleh Jennifer Kent. The Babadook pun mampu menjadi film horor terbaik yang memenangkan berbagai penghargaan. Beberapa penghargaan yang diraih, yaitu Best Film, Best Director dan Best Original Screenplay pada 4th AACTA Awards. www.mrchensjackson.com

Film-film Horor Australia yang Bikin Merinding

Disamping itu, film ini pun berhasil memenangkan penghargaan dengan berbagai kategori dalam 20th Empire Awards, Fangoria Chainsaw Awards dan New York Film Critics Circle Awards.

Amelia (Essie Davis) menjadi orang tua tunggal bagi anak semata wayangnya, Samuel (Noah Wiseman). Suaminya telah meninggal dalam kecelakaan. Tanggungan psikologis Amelia semakin bertambah ketika Samuel selalu dianggap “aneh” oleh teman-temannya.

Samuel mempercayai bahwa akan adanya monster yang berada di dalam lemari dan di bawah ranjangnya. Dia pun meminta ibunya untuk membacakan buku “Mister Babadook” sebelum tidur. Perihal itu yang mengawali terjadinya peristiwa mengerikan dalam kehidupan mereka.

Amelia menyadari bahwa bacaan berjudul Mister Babadook itu mengerikan, bahkan ia sendiri pun merinding ketika membaca buku Babadook itu.

Sesudah memutuskan untuk membuang buku Mister Babadook jauh-jauh, namun ternyata hal tersebut sudah terlambat.

Amelia sudah membaca semua isi buku Babadook tiap lembarnya. Sehingga mengakibatkan Babadook kini telah datang menghantui keluarga tersebut.

The Babadook ini dibintangi oleh Essie Davis, Noah Wiseman, Daniel Henshall. Film berdurasi 94 menit ini menghabiskan produksi sekitar 2 juta dolar.

Sesudah pemutarannya secara global, Film The Babadook berhasil mengumpulkan pendapatan sebanyak lebih dari 10 juta dolar.

2. Hounds of Love

Film horor yang satu ini tak cuma mengerikan tapi juga menyelipkan unsur psikologis thriller di dalamnya. Film ini juga memenangkan beberapa penghargaan, bahkan dinobatkan sebagai Best Film dalam AFCA Awards dan FCCA Awards.

Bermula dari seorang gadis yang pergi dari rumah. Lalu, ada dari sepasang kekasih yang menawarinya tumpangan. Sepasang kekasih itu sebetulnya tak sebaik yang kamu pikirkan. Mereka adalah penculik dan pembunuh.

Hounds of Love Movie (2017), dirilis pada tanggal 12 May 2017 (USA), dengan panjang durasi 1 jam 48 menit. Film tersebut diproduksi oleh Rumah Produksi Film Factor 30 Films, dan didistributori oleh Label Distribution, Gunpowder & Sky. Ada pula untuk rincian para pemain film, yang turut bermain dan berperan, yaitu diantarnya seperti Emma Booth berperan seabagai Evelyn White,

Ashleigh Cummings berperan seabagai Vicki Maloney, Stephen Curry berperan seabagai John White, Susie Porter berperan seabagai Maggie, Damian de Montemas berperan seabagai Trevor, Harrison Gilbertson berperan seabagai Jason, Fletcher Humphrys berperan seabagai Gary, Steve Turner berperan seabagai Troy,

Holly Jones berperan seabagai Miss Martin, Michael Muntz berperan seabagai Sergeant Mathews, Marko Jovanovic berperan seabagai Sergeant Henderson, Liam Graham berperan seabagai Pete, Lisa Bennet berperan seabagai Gabby Donovan, Eileen Colocott berperan seabagai Elderly Neighbour, dan Kingsley Judd berperan seabagai Shop Attendant.

3. Wolf Creek

Film ini menjadi salah satu film paling populer dan ikonik di Australia. Film yang rilis tahun 2005 tersebut terinspirasi dari kisah nyata. Bahkan, terinspirasi dari dua kejadian sekaligus yang kemudian dirangkum dalam satu film.

Kejadiannya bermula dari dua orang backpacker yang menyusuri Australia dan ditemani seorang pemandu. Mereka yang memilki rencana untuk menjelajah dan singgah sejenak di Wolf Creek.

Akan tetapi, di tengah perjalanan terjadi masalah pada kendaraan mereka. Namun beruntung bahwa, ada seseorang yang memberi tumpangan kepada mereka bertiga. Yang disayangkan, orang asing tersebut tidak benar-benar berniat baik.

Film Australia yang merupakan arahan sutradara Greg McLean yang dirilis 2005 lalu ini diilhami oleh kisah kejahatan yang benar-benar pernah terjadi di Australia. Walaupun ide cerita yang disajikan sudah umum sebagai tema film horor, namun film berbujet rendah ini ternyata masih sanggup mengeruk dolar sampai mencapai US$13 juta.

Seperti bisa diduga, film ini banyak menyajikan adegan kekerasan yang mungkin tidak layak ditonton untuk anak-anak. Ada beberapa adegan yang tampak terjadi tanpa kejelasan seperti arloji Ben, Liz, dan Kristy yang tiba-tiba berhenti saat pukul 6.30. Tapi untuk sekedar film hiburan, film ini cukup layak untuk ditonton.

4. The Loved Ones

Film-film Horor Australia yang Bikin Merinding

Kalau dari judulnya, kamu tidak akan mengira bahwa film horor satu ini cukup mengerikan dan sadis. Film ini telah diputar di beberapa festival film internasional di Asia dan Amerika. Salah satu perihal yang mengejutkan, yaitu sebuah kasus pembunuhan sadis di Inggris dan si tersangka mengaku terinspirasi dari The Loved Ones.

Lola (Robin McLeavy) pun turut mengajak Brent (Xavier Samuel) untuk menghadiri pesta. Akan tetapi, Brent menolak ajakannya. Tidak berhenti sampai di situ, Brent kemudian diikat dan disuguhi hal-hal mengerikan.

“The Loved Ones” ini bukan sebuah film slasher pertama yang berasal dari Australia, karena sebelumnya ada “Wolf Creek” di tahun 2005, disutradarai oleh Greg Mclean. “The Loved Ones” memanglah bakal terlihat seperti film percintaan drama yang klise, lengkap dengan kisah cinta yang bertepuk sebelah tangan, dan pesta dansa sebagai momen untuk melepas keperawanan.

Akan tetapi itu cuma akan menjadi pondasi cerita di film yang disutradarai oleh Sean Byrne, sekaligus debut film panjang pertamanya ini. Australia sepertinya ingin punya maskot horor mereka sendiri yang ikonik, lewat Lola (Robin McLeavy), seorang “putri” yang dikecewakan oleh seorang lelaki karena menolak ajakannya ke pesta dansa. Lelaki tersebut yaitu Brent (Xavier Samuel), seorang pemuda sok metal dan depresi yang 6 bulan lalu mengalami kecelakaan bersama sang ayah.

5. Black Water

Film Black Water ini dirilis pada Agustus 2007 pada Nuremberg Fantasy Filmfest. Sesudah itu dirilis pada Februari 2008 di Inggris dan April 2008 di Australia. Beberapa penghargaan pun telah diraih oleh film ini, seperti Best Director, Best Cinematography dan Best Soundtrack.

Alam yang begitu bebas di Australia tak hanya terkenal dengan keindahannya, tapi dinilai cukup ganas. Seperti dalam film ini yang menceritakan tiga orang yang bertualang ke daerah pedalaman Australia. Alih-alih mendapatkan wisata menakjubkan, justru mereka mengalami berbagai peristiwa menegangkan.

6. Lake Mungo

Film Lake Mungo rilis untuk pertama kalinya pada Juni 2008 dalam Sydney Film Festival. Film horor satu ini berbeda dari  sebelumnya, Lake Mungo disajikan dalam bentuk dokumenter. Kamu akan dengan mudah mengikuti ceritanya, namun tetap dengan sensasi horor yang seru.

Berawal dari seorang gadis bernama Alice yang berusia 16 tahun berenang di sebuah danau. Namun, ia dikabarkan tenggelam dan meninggal. Pencarian pun dilakukan, jasad Alice ditemukan dengan kondisi mengenaskan. Tidak cuma sampai di situ, Alice pun sering muncul di sekitar keluarganya dan sekitar danau tersebut.

 

Continue Reading

Share

“Wolf Creek” Pembunuh Berantai Liar Di Pedalaman Australia

“Wolf Creek” Pembunuh Berantai Liar Di Pedalaman Australia – Film Wolf Creek adalah sebuah film 2005 horor Australia ditulis, co-diproduksi, dan disutradarai oleh Greg McLean, dan dibintangi John Jarratt.

Cerita ini berkisah tentang tiga backpackers yang menemukan diri mereka ditawan dan setelah melarikan diri singkat, diburu oleh dekat pembunuh berantai liar di pedalaman Australia. Film ini ambigu dipasarkan sebagai “berdasarkan kejadian yang benar”; plot menanggung elemen mengingatkan pada pembunuhan kehidupan nyata dari wisatawan oleh Ivan Milat pada 1990-an, dan Bradley Murdoch pada tahun 2001. https://www.mrchensjackson.com/

Di Broome, Australia Barat, tahun 1999, dua wisatawan Inggris, Liz Hunter (Cassandra Magrath) dan Kristy Earl (Kestie Morassi), backpacking di seluruh negeri dengan Ben Mitchell (Nathan Phillips), seorang teman Australia dari Sydney. Mereka terus-menerus mabuk di alam liar, boros pihak kolam renang dan berkemah di pantai. Ben membeli bobrok Ford XD Falcon untuk perjalanan jalan mereka dari Broome ke Cairns, Queensland melalui Great Northern Highway. idnslot

“Wolf Creek” Pembunuh Berantai Liar Di Pedalaman Australia

Setelah berhenti di Halls Creek untuk malam, trio membuat lain berhenti di Wolf Creek National Park, yang berisi sebuah kawah raksasa dibentuk oleh 50.000 ton meteorit.

Beberapa jam kemudian, setelah kembali ke mobil mereka, kelompok menemukan bahwa jam tangan mereka telah semua tiba-tiba berhenti dan bahwa mobil tidak akan mulai. Tidak dapat memecahkan masalah, mereka mempersiapkan diri untuk duduk di luar malam. Setelah gelap, seorang pria pedesaan bernama Mick Taylor (John Jarratt) datang di mereka dan menawarkan untuk menarik mereka ke kamp untuk memperbaiki mobil.

Awalnya ragu-ragu, kelompok memungkinkan Mick untuk membawa mereka ke tempatnya, situs pertambangan yang ditinggalkan beberapa jam selatan dari Wolf Creek. Mick regales mereka dengan cerita tinggi dari masa lalunya sementara membuat menunjukkan memperbaiki mobil mereka. Kelakuannya meresahkan Liz dan Kristy, meskipun Ben kurang peduli.

Di samping itu mereka duduk di sekitar api, Mick memberikan para wisatawan air yang ia gambarkan sebagai “air hujan dari ujung atas”. air akhirnya menyebabkan wisatawan untuk jatuh pingsan.

Liz terbangun untuk menemukan dirinya tersedak dan diikat di gudang. Dia berhasil melepaskan diri, tapi sebelum dia dapat melarikan diri dari lokasi tambang, dia mendengar Mick menyiksa Kristy di garasi, dan saksi dia penyerangan seksual nya. Liz menetapkan sekarang-dibongkar Falcon terbakar untuk mengalihkan perhatiannya, dan pergi untuk membantu Kristy sementara Mick sibuk berusaha memadamkan kobaran api.

Ketika ia kembali Liz berhasil menembak Mick dengan senapan sendiri, peluru memukul dia di leher dan tampaknya membunuh dia. Para wanita berusaha melarikan diri dari kamp di truk Mick. Tapi sebelum mereka dapat melakukannya, Mick tersandung keluar dari garasi, mengungkapkan tembakan itu non-fatal dan bahwa dia masih hidup.

Dia melanjutkan dengan menembak mereka dengan senapan laras ganda sebelum melakukan pengejaran di mobil lain. Gadis-gadis menghindari Mick dengan rolling truknya dari tebing dan bersembunyi di balik semak-semak, sebelum kembali ke lokasi tambang untuk mendapatkan mobil lain. Liz meninggalkan histeris Kristy di luar gerbang, menyuruhnya untuk melarikan diri dengan berjalan kaki jika dia tidak kembali dalam lima menit.

Liz memasuki garasi lain dan menemukan saham besar Mick mobil serta sebuah array terorganisir harta wisatawan, termasuk kamera video. Ia melihat pemutaran pada salah satu dari mereka dan ngeri melihat Mick “membantu” wisatawan lainnya terdampar di Wolf Creek dalam keadaan hampir identik dengan dirinya sendiri.

Dia kemudian mengambil kamera lain yang ternyata menjadi Ben, dan saat melihat beberapa rekaman Ben, dia melihat truk Mick di latar belakang, menunjukkan dia telah mengikuti mereka jauh sebelum mereka tiba di Wolf Creek.

“Wolf Creek” Pembunuh Berantai Liar Di Pedalaman Australia

Dia masuk ke mobil dan mencoba untuk memulainya, namun Mick muncul di kursi belakang dan menusuk melalui kursi pengemudi dengan pisau bowie. Setelah lebih membual dan marah tentang truknya mendapatkan rusak, dia meng-hack jari Liz off dalam satu menggesek, dan headbutts dia ke dekat ketidaksadaran.

Dia kemudian severs sumsum tulang belakang dia dengan pisau, melumpuhkan dia dan rendering nya “kepala pada tongkat”. Dia kemudian mulai menginterogasi dirinya untuk keberadaan Kristy ini.

Pada fajar, Kristy sudah mencapai jalan raya dan ditemukan oleh seorang pengendara motor yang lewat. Dia mencoba untuk membantu Kristy, tapi ditembak mati dari jauh oleh Mick, yang memiliki senapan sniper. Mick menyerahkan mengejar di Holden HQ Statesman, mendorong Kristy untuk lepas landas di mobil orang mati.

Dia sukses dalam menjalankan Mick dari jalan ketika ia menangkap, tapi dia keluar dari mobil dan tunas keluar ban belakang Kristy, menyebabkan mobil untuk flip atas. Kristy memanjat keluar dari kendaraan dan upaya untuk merangkak pergi, tapi segera ditembak mati oleh Mick. Dia bundel tubuh Kristy ini ke bagian belakang mobilnya, bersama dengan tubuh pengendara tewas, dan obor mobil hancur sebelum mengemudi.

Ben, yang nasibnya hingga kini belum terungkap, terbangun untuk menemukan dirinya dipaku ke salib mock dalam poros tambang, dengan dua agresif, Rottweiler dikurung di depannya. Ia berhasil mengekstrak dirinya dari salib dan memasuki kamp di siang hari awal. Ben lolos ke pedalaman, tetapi menjadi dehidrasi, dan akhirnya pingsan di samping jalan tanah. Dia ditemukan oleh beberapa Swedia yang membawanya ke Kalbarri, di mana ia diterbangkan ke rumah sakit.

Serangkaian kartu judul menyatakan bahwa meskipun beberapa pencarian polisi utama, tidak ada jejak Liz atau Kristy yang pernah ditemukan. penyelidikan awal ke kasus itu teratur, terhambat oleh kebingungan atas lokasi kejahatan, kurangnya bukti fisik dan dugaan tidak dapat diandalkan dari hanya saksi. Sesudah empat bulan di tahanan polisi, Ben kemudian dibersihkan dari semua kecurigaan. Dia saat ini tinggal di Australia Selatan. Akhir film dengan siluet Mick berjalan ke matahari terbenam dengan senapan di tangan.

Lalu apakah film ini layak tonton?

Meskipun bagi yang sudah menonton film pertamanya, Wolf Creek 2 kurang greget, tetapi masih pantas untuk ditonton sampai selesai.

Apakah harus ditonton sebelum pergi ke Australia?

Tidak mesti nanti malah jadi parno. Akan tetapi, menurut saya film ini justru bikin kita selalu waspada saat jalan-jalan ke mana saja karena tidak melulu semua orang baik.

Film Australia yang merupakan arahan sutradara Greg McLean yang dirilis 2005 lalu ini diilhami oleh kisah kejahatan yang benar-benar pernah terjadi di Australia. Meskipun ide cerita yang disajikan sudah umum sebagai tema film horor, namun film berbujet rendah ini ternyata masih sanggup mengeruk dolar sampai mencapai US$13 juta.

Seperti dapat diduga, film ini banyak menyajikan adegan kekerasan yang mungkin tidak layak ditonton untuk anak-anak. Terdapat beberapa adegan yang tampak terjadi tanpa kejelasan seperti arloji Ben, Liz, dan Kristy yang tiba-tiba berhenti saat pukul 6.30. Namun untuk sekedar film hiburan, film ini cukup layak untuk ditonton.

 

Continue Reading

Share

Inilah Review Film “ The Babadook” Yang Menyeramkan

Inilah Review Film “ The Babadook” Yang Menyeramkan – Opening Scene yang diawali dengan Amelia (diperankan oleh Essie Davis) yang mengalami mimpi buruk mengenai kecelakaan tujuh tahun lalu yang menyebabkan kematian suaminya begitu dalam namun dibalik kecelakaan tersebut cabang bayi didalam perutnya yang dapat dengan berhasil diselamatkan tepat disaat hari kematian suaminya tersebut.

Suara teriakan menggema dari samping kamar Amelia, Samuel (diperankan oleh Noah Wiseman) anaknya ketakutan akibat sebuah legenda boogeyman dengan goyah Amelia berusaha menenangkan anaknya dan hal tersebut berulang dilakukan olehnya setiap hari. idn slot

Review Film “ The Babadook”

Perihal yang berbeda terjadi disuatu malam, ketika sebuah buku cerita berjudul “The Babadook” dibacakan oleh Amelia karena keinginan Samuel. Suatu buku cerita horor dengan pop up art yang semakin memperlihatkan kengerian cerita tersebut membuat Samuel terjaga semalaman sehingga Amelia merasakan kelelahan yang begitu sangat namun tanpa diketahui oleh mereka berdua, www.benchwarmerscoffee.com

buku tersebut akan membawa serangkaian aktivitas horor dan merambah ke pembantaian yang tidak pernah dipikirkan oleh mereka berdua sebelumnya.

The Babadook merupakan sebuah film debut pertama dari sutradara Australia yang telah suskes sebelumnya membawakan serial berjudul, Murder Call. Sehingga Jennifer Kent yang mau tak mau pun menjadi sorotan dunia akibat sebuah film dengan psikogi horor serta tone warna yang suram ditambah nuansa thriller yang tak menjemukan ini.

The Babadook juga dihubung-hubungkan menjadi rival kengerian yang sama dengan film arahan besutan sutradara James Wan, yaitu The Conjuring. Apakah hal tersebut benar begitu?

‘I couldn’t agree more’. I said. The Babadook merupakan cerita horor yang begitu dalam dan sangat berbeda dari film-film horor biasanya. Malahan dengan dimulainya opening scene yang jarang sekali saya temukan di film-film horor lainnya telah membuat saya mengerinyitkan alis dan berfikir matang apa yang akan disajikan selanjutnya oleh Kent dalam film debutnya ini.

Hal utama dari menikmatinya bukanlah dari menanti-nanti hantu atau rentetan kejadian horornya namun bagaimana karakter Amelia serta Samuel dihidupkan dengan serentetan kejadian horor yang menimpa mereka.

Yang uniknya, The Babadook memakai trik yang berbeda dia membuat sebuah hubungan antara ibu dan anak yang sejak awal telah rawan dipenuhi kebencian sehingga nyatanya horor yang dihadirkan di film ini merupakan kehororan seorang ibu yang membenci anaknya karena dia penyebab suaminya meninggal dan ditambah perilaku Samuel yang berbeda dari kebanyakan anak bahkan sempat terpikir cerita The Babadook akan terbawa menuju The Omen (1976).

Namun nyatanya refrensi film ini paling tepat adalah Sinister (2012).

Samuel seorang anak berusia enam tahun yang mempunyai pola pikir tidak pada seperti anak seumurnya, dia menyukai sulap hingga membawa dampak senjata-senjata untuk dijadikan pertahan dirinya untuk melawan Babadook.

Senjata yang dibuatnya bukan sebuah senjata sembarang tapi senjata tajam yang mampu melukai orang lain selain keanehan tersebut dia terhitung mempunyai persoalan emosi yang terlalu serius supaya membawa dampak Amelia kelelahan dan perlahan demi perlahan lihat anaknya sebagai sosok yang menjengkelkan dan merasa menyesali kelahirannya.

Pada bagian inilah yang membuat terkesan pada film The Babadook dimulai dengan sikap Samuel layaknya Damien namun langsung dijungkir balik dengan cantik oleh Kent dengan Amelia yang bersikap madness dan ingin membunuh anaknya tanpa disadari.

Yang lucunya, ketika menontonnya saya yang sebal terhadap Samuel malah menginkan Amelia cepat-cepat mengakhiri nyawa anaknya saja.

Pada bagian ini yang dapat dikatakan bahwa Kent berhasil membawa emosi penonton dan membangun karakter yang sangat dalam dari masing-masing tokoh sehingga Amelia yang telah dirasuki oleh Babadook malah tidak lebih dari sosok yang semakin menyenangkan karena memiliki keberanian untuk mengungkapkan hal yang sebenarnya pada anaknya dan keinginannya. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut.

Review Film “ The Babadook”

The Babadook ini pun memiliki beberapa scene yang bemacam-macam dipenuhi dengan clue yang lagi-lagi membuat saya menyipitkan mata untuk berfikir keras apa maksud dari adegan tadi. Nyata-nyatanya film ini bukan sebuah film horor pop yang dapat dinikmati dengan mudah namun teror sebenarnya dari film ini adalah bagaimana kita bisa mengerti apa yang disajikan oleh Kent dalam debutnya ini.

Sebuah adegan yang terus menurus masih membayang adalah adegan dimana Amelia menonton televisi tentang kasus pembunuhan seorang ibu terhadap anaknya di hari ulangtahun anaknya dan mendadak dia melihat dirinya sendiri dibalik jendela didalam tayangan berita tersebut.

Sehingga dia terkejut dan teringat sebuah adegan dimana ketika buku cerita The Babadook yang telah dibuangnya dikembalikan didepan rumah dimana terdapat tambahan cerita didalamnya. Seorang ibu, sedang tengah membunuh anjingnya dengan cara mencekik lalu berikutnya anaknya dibunuh serta dirinya sendiri akhirnya.

Jarring-jaringjuga telah mulai terusun untuk melengkapi puzzle didalam film ini. Kent yang jelas tidak ingin main-main dengan para penontonnya dia ingin melihat bagaimana penonton merasakan teror dan bermain menyusun pecahan tersebut menjadi sebuah plot cerita yang utuh.

Lantas ending pun menjadi sebuah pertanyaan besar ketika Amelia berhasil lepas dari possession Babadook dengan adegan dimana hari berganti tepat ketika ulang tahun Samuel dan Amelia berjalan ke ruang bawah tanah untuk memberikan makan kepada Babadook.

Pertanyaan yang terbesar, ketika akhir yang bisa dikatagorikan happy ending tersebut apakah benar seperti itu? Bermacam-macamsugesti dengan plot yang sengaja dibuat hilang oleh Kent tersebut lah yang harus kita isi dan menciptakan akhir versi kita sendiri, mungkin.

The Babadook yang sesungguhnya bukanlah horor yang biasa terutama dengan visual monster Babadook yang mengingatkan terhadap beberapa karakter horor terkenal, seperti Edward Scissorhand, Freddy Kruger, Penguin (Batman), hingga terbalut dalam bentuk layaknya seekor burung hantu didalam imajinasi saya.

The Babadook bahkan begitu jarang memunculkan visualisasi monster yang dijadukan judul filmnya sendiri. Fokus mengarah ke yang lebih intense tentang perubahan karakter Amelia dan Samuel bisa dibilang bahkan aktivitas horor pun sangat jarang muncul sehingga wajar didalam studio tidak terdengar pekikan hingga akhir film walau begitu yakin bahwa jantung berdetak cukup kencang menyaksikan film ini.

The Babadook ini tak hanya seram atau intense membuat jantung berdebar tapi dapat gurihnya membuat penonton tertawa beberapa adegan bahkan sempat terasa seperti Home Alone (1990) yang berada di dalam suatu slaughter house seperti ketika Samuel membuat jebakan-jebakan untuk ibunya mengingatkan terhadap karakter si Kevin yang menangkap para maling dengan perangkap-perangkap bodohnya.

The Babadook jelas tak bisa disandingkan dengan film horor lainnya bahkan The Conjuring sekalipun. The Babadook memperlihatkan cerita lama dan usang dengan gaya penceritaan unik sehingga membawanya kepada sebuah film yang memiliki rasa akan originalitas.

The Conjuring yang masih mempunyai nuansa pop asia jelas termakan jauh oleh film ini. The Babadook yatu sebuah film horor yang patut dikenang dan diingat serta diabadikan. Kent berhasil bukan mainnya terhadap debut pertama filmnya ini.

 

Continue Reading

Share

The Human Centipede 2 (Full Sequence) Ditolak Australia

The Human Centipede 2 (Full Sequence) Ditolak Australia – Tom Six pada pertama kali mengungkapkan idenya mengenai pembuatan The Human Centipede (First Sequence) (2010), banyak pihak yang menilai Six telah benar-benar melewati batas dalam memaknai arti sebuah film horor.

Selain hal tersebut pun, ketika film horor yang menjadi salah satu film yang paling banyak dibicarakan tahun lalu tersebut dirilis, banyak penikmat horor justru menilai bahwa The Human Centipede (First Sequence) adalah sebuah horor yang hanya efektif ketika berada diatas kertas, namun gagal untuk dieksekusi menjadi sebuah sajian yang benar-benar mampu menakuti para penontonnya. https://www.benchwarmerscoffee.com/

Memang, dengan keahlian pengarahan Six yang masih cukup terlihat lemah, The Human Centipede (First Sequence) kurang mampu untuk memenuhi harapan seluruh penontonnya untuk mendapatkan sebuah sajian yang benar-benar sadis sekaligus dapat mampu untuk tampil memikat dengan jalan cerita yang disajikan. slot online indonesia

Review: The Human Centipede 2 (Full Sequence) yang Ditolak Australia

Masa setahun telah berlalu. Six pun, yang nyatanya semenjak lama sudah merencanakan untuk membuat The Human Centipede sebagai sebuah trilogi – Benar! Trilogi yang meiliki arti bahwa, Anda masih akan berkesempatan untuk menyaksikan sebuah cerita baru lagi dari seri ini di masa yang akan datang – akhirnya merilis seri kedua The Human Centipede, The Human Centipede 2 (Full Sequence).

Six ini seperti betul-betul mendengarkan seluruh kritikan terhadap The Human Centipede (First Sequence). Berbagai macam dari komentar yang menyatakan bahwa seri pertama film tersebut kurang mampu memenuhi hasrat para penikmat film horor dijawab dengan banyaknya adegan yang sadis, penuh darah sekaligus menjijikkan yang jelas akan cukup mampu untukmemberikan kepuasan mereka yang mengatakan bahwa The Human Centipede (First Sequence) masih kurang kandungan horornya.

Film The Human Centipede 2 (Full Sequence) ini pun, sepertinya menjadi jawaban tersendiri bagi Six dalam menjawab beberapa kritikan yang menyatakan bahwa film yang ia buat telah melewati batas-batas norma yang ada. Melalui karakter Martin Lomax yang diperankan oleh aktor Laurence R. Harvey yang juga sekaligus menjadi karakter antagonis di film ini,

Six dengan jelas menyindir mereka yang terlalu mengaggap serius film yang ia ciptakan, bahwa The Human Centipede (First Sequence) hanyalah murni sebuah film horor yang berniat untuk menakut-nakuti penonton dan seharusnya tidak perlu dicap sebagai sesuatu hal yang membahayakan bagi banyak orang.

Pada film The Human Centipede 2 (Full Sequence) dikisahkan mengenai Martin Lomax (Harvey), seorang pria penyendiri yang bekerja sebagai seorang petugas penjaga area parker dan begitu terobsesi dengan film The Human Centipede (First Sequence). Terlalu besarnya rasa terobsesinya Martin pada film tersebut, ia mengumpulkan segala hal yang berhubungan dengan film tersebut,

mulai dari foto-foto para jajaran pemeran film tersebut hingga berusaha menggambarkan sendiri bagaimana pola ‘menyatukan’ beberapa manusia hingga menjadi sebuah bentuk ciptaan baru. Klimaksnya, Martin akhirnya memutuskan untuk membuat sendiri human centipede seperti yang dilakukan oleh Dr Heiter (Dieter Laser) di The Human Centipede (First Sequence).

Mencoba untuk berbuat lebih sadis daripada Dr Heiter, Martin tidak hanya berencana untuk menyatukan tiga orang manusia. Ia mau membentuk sebuah human centipede dalam ukuran penuh dan menyatukan sebanyak dua belas orang bersama. Secara perlahan, Martin mulai mengumpulkan para korbannya. Selain dari pada itu, ia berhasil untuk membohongi Ashlynn Yennie,

salah seorang aktris yang berperan dalam The Human Centipede (First Sequence), dan turut menjadikannya sebagai korban. Berbeda juga dengan Dr Heiter, Martin jelas sama sekali tidak memiliki pengetahuan dan peralatan medis yang akurat. Mengakibatkan, jelas saja, kedua belas korban Martin harus melalui serangkaian proses penyatuan yang sangat sadis dan menyakitkan.

Perlu untuk diakui bahwa, The Human Centipede 2 (Full Sequence) jelas merupakan sebuah peningkatan kadar horor yang cukup ekstrim jika dibandingakan dengan seri pertama film ini. Lebih banyaknya korban, lebih banyak darah dan lebih banyak perlakuan amoral untuk memuaskan setiap hasrat para penikmat film-film sejenis.

Pilihan Six untuk menghadirkan rangkaian kisahnya dalam adegan berwarna hitam putih juga terbukti efektif dalam menambah intensitas dari jalan cerita yang dihadirkan.Keunikan kegilaan dari Martin Lomax yang menjadi karakter antagonis utama juga mampu dibangun dengan begitu rapi sehingga penonton akan dapat merasakan kengerian yang mendalam dari hanya menyaksikannya berdiam diri di dalam jalan cerita.

Selain itu, jika dibandingkan dengan The Human Centipede (First Sequence), Six masih terpaku pada pola pengarahan cerita yang sama. Tidak ada peningkatan yang berarti pada segi penulisan ,aupun penggalian karakter-karakter yang dihadirkan di dalam cerita.

Penonton mutlak hanya menyaksikan jalan cerita yang disajikan oleh Six tanpa pernah akan merasa mereka dilibatkan di dalam jalan cerita untuk merasakan ikatan emosional pada setiap karakter yang hadir sama dengan yang mungkin dapat dirasakan beberapa orang pada para karakter korban yang dihadirkan di The Human Centipede (First Sequence).

Kurangnya dialog juga menjadi kelemahan sendiri, walaupun kesunyian yang dihadirkan film ini seringkali juga menjadi poin menarik yang menambah intensitas kengerian The Human Centipede 2 (Full Sequence).

Review: The Human Centipede 2 (Full Sequence) yang Ditolak Australia

Mereka pula yang mengeluhkan bahwa The Human Centipede (First Sequence) masih terlalu datar datar dan gagal tampil semenarik premis yang ditawarkan, kemungkinan besar akan mampu merasakan peningkatan tingkat kengerian yang coba diciptakan oleh Tom Six dalam The Human Centipede 2 (Full Sequence).

Menghadirkan adegan-adegan dengan intensitas horor yang lebih padat dan deretan adegan yang akan cukup mampu membuat setiap penontonnya merasakan sedikit mual sayangnya pengarahan serta kemampuan penulisan naskah Six masih belum menemukan peningkatan yang berarti. The Human Centipede 2 (Full Sequence) murni merupakan sebuah film yang hanya akan menyajikan berbagai kengerian pada penontonnya, namun sama sekali tidak akan membuat mereka tertarik untuk mengingat film tersebut lebih lama.

Australia Tolak Peredaran ‘HUMAN CENTIPEDE II’:

Dua negara telah yang sempat menolak peredaran film Tom Six ini. Sesudah negara Inggris yang sempat keberatan kalau film horor ini beredar di sana, kini giliran Australia yang mengemukakan pernyataan senada. Tidak ada kejelasan apakah kali ini pihak Tom Six akan menyerah atau bakal mengadakan negosiasi lagi seperti yang terjadi di Inggris beberapa waktu yang lalu.

Australian Classification Review Board, badan sensor film Australia, hari Senin lalu menyatakan kalau film berjudul THE HUMAN CENTIPEDE II ini tak boleh ditayangkan di Australia. Alasan-alasan yang disampaikan jelas adalah masalah visualisasi kekerasan yang ada dalam film hasil kerja sama Inggris dan Belanda ini.

Bukanlah Australian Classification Review Board yang merasa keberatan kalau film ini beredar di gedung bioskop di Australia. Family Voice Australia yang sebelumnya sempat menggelar protes untuk melarang peredaran film ini di Australia. “Pornografi, didasarkan dalam penyiksaan manusia tak boleh di putar di Australia,” ujar Ros Phillips dari Family Voice Australia.

Pada beberapa waktu yang lalu sempat dikabarkan kalau distributor film ini sempat harus bernegosiasi panjang dengan British Board of Film Classification (BBFC) soal larangan beredarnya film ini di Inggris. Sesudah empat bulan, akhirnya kesepakatan bisa dicapai. 32 adegan harus dipotong sebelum BBFC mengizinkan film buatan Inggris ini beredar di negerinya sendiri.

Walau bagian pertama dan kedua ini dilarang beredar di banyak negara namun Tom Six sendiri kabarnya masih belum kapok dan sudah mempersiapkan bagian ketiga. Rencananya pada bagian ketiga sekaligus bagian penutup ini akan syuting di Amerika Serikat.

 

Continue Reading

Share